Kamis, 15 Agustus 2013

Syari’at Tidak Mengajari Bersedih


            Bersedih itu sangat dilarang. Hal ini telah ditegaskan Allah swt dalam firmaNya :”Dan, janganlah kamu bersikap lemah dan jangan (pula) bersedih hati”. (QS.Ali-Imran : 139). Atau firmanNya yang berbunyi :”Janganlah kamu bersedih sesungguhnya Allah swt selalu bersama kita”. (QS.At-Taubah : 40).
            Bersedih itu hanya akan memadamkan kobaran api semangat, melumpuhkan semangat, dan bisa membekukan jiwa. Kesedihan itu ibarat penyakit demam yang membuat tubuh menjadi lemas tak berdaya. Mengapa demikian?.
Tak lain, karena kesedihan hanya memiliki daya yang menghentikan dan bukan menggerakan. Itu artinya sama sekali tidak bermanfaat bagi hati. Bahkan, kesedihan merupakan satu hal yang paling disenangi setan. Maka dari itu, setan selalu berupaya agar seorang hamba bersedih untuk menghentikan setiap langkah dan niat baiknya.
            Sebagaimana yang telah diperingatkan Allah swt dalam firmanNya :”Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan supaya orang-orang mukmin berduka cita” (QS.Al-Mujadilah:10).
            Rasulallah saw, melarang tiga orang yang sedang berada dalam satu majelis demikian :”(Janganlah dua orang diantaranya) saling melakukan pembicaraan rahasia tanpa disertai yang ketiga, sebab yang demikian itu akan membuatnya (yang ketiga) berduka cita”.
            Dan bagi seorang mukmin, kesedihan itu tidak pernah diajarkan dan dianjurkan. Soalnya, kesedihan merupakan penyakit yang berbahaya bagi jiwa. Karena itu pula, setiap muslim diperintahkan untuk mengusirnya jauh-jauh dan dilarang tunduk kepadanya. Islam juga mengajarkan kepada setiap muslim agar senantiasa melawan dan menundukannya dengan segala cara yang telah disyaratkan Allah swt.
            Bersedih itu tidak diajarkan, juga tidak bermanfaat. Oleh karena itu, Rasulallah saw, selalu memohon perlindungan dari Allah swt agar dijauhkan dari kesedihan. Beliau selalu berdoa seperti ini :
اَللَّهُمَّ اِنِّيْ أعُذُبِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحُزْن
“Ya Allah swt,aku berlindung kepada-Mu dari ra
sa sedih dan duka cita”

            Kesedihan adalah teman akrab kecemasan. Adapaun perbedaanya antara keduanya adalah manakala sesuatu hal yang tidak disukai hati berkaitan dengan hal-hal yang belum terjadi, ia akan membuahkan kecemasan. Sedangkan bila berkaitan dengan persoalan masa lau, maka keduanya sama-sama dapat melemahkan semangat dan kehendak hati untuk berbuat suatu kebaikan.
            Kesedihan dapat membuat hidup menjadi keruh. Ia ibarat racun berbisa bagi jiwa yang dapat menyebabkannya lemah semangat, krisis gairah, dan galau dalam menghadapi hidup ini. Dan itu, akan berujung pada ketidak acuhan diri pada kebaikan, ketidak pedulian pada kebajikan, kehilangan semangat untuk meraih kebahagiaan, dan kemudahan akan berakhir pada pesimisme dan kebinasaan diri yang tiada tara.
            Meskipun demikian, pada tahap tertentu memang tidak dapat dihindari dan seseorang terpaksa harus besedih karena suatu kenyataan. Berkenaan dengan ini, disebutkan bahwa para ahli surga ketika memasuki surga akan berkata :”Segala puji bagi Allah swt yang menghilangkan duka cita dari kami”. (QS.Fathir:34).
            Ini menandakan bahwa ketika didunia mereka pernah bersedih sebagaimana mereka tentu saja pernah ditimpa musibah yang terjadi diluar ikhtiar mereka. Hanya, ketika kesedihan itu harus terjadi dan jwa tidak lagi memiliki cara untuk menghindarinya, maka kesedihan itu justru akan mendatangkan pahala. Itu terjadi, karena kesedihan yang demikian merupakan bagian dari musibah atau cobaan. Maka dari itu, ketika seorang hamba ditimpa kesedihan hendaknya ia senantiasa melawannya dengan doa-doa dan sarana-sarana lain yang memungkinkan untuk mengusirnya.
            Demikianlah, mereka tidaklah dipuji dikarenakan kesedihan mereka semata. Tetapi lebih dikarenakan kesedihan mereka itu justru mengisyaratkan kuatnya keimanan mereka. Pasalnya, kesedihan mereka berpisah dengan Rasulallah saw adalah dikarenakan tidak mempunyai harta yang akan dibelanjakan dan kendaraan untuk membawa mereka pergi berperang. Ini merupakan peringatan bagi orang-orang munafik yang tidak merasa bersedih dan justru gembira manakala tidak mendapatkan kesempatan untuk turut berjihad bersama Rasulallah saw.
            Kesedihan yang terpuji yakni yang dipuji setelah terjadi adalah kesedihan yang disebabkan oleh ketidak mampuan menjalankan suatu ketaatan atau dikarenakan tersungkur dalam jurang kemaksiatan. Kesedihan seorang hamba yang disebabkan oleh kesadaran bahwa kedekatan, hal itu menandakan bahwa hatinya hidup dan terbuka untuk menerima hidayah dan cahaya-Nya.
            Sementara itu, makna sabda Rasulallah saw dalam sebuah hadist shahih yang berbunyi :”Tidaklah seorang mukmin ditimpa sebuah kesedihan, kegundahan dan kerisauan, kecuali Allah swt pasti akan menghapus sebagian dosa-dosa nya”, adalah menunjuk bahwa kesedihan, kegundahan dan kerisauan itu merupakan musibah dari Allah swt yang apabila menimpa seorang hamba, makna hamba tersebut akan diampuni sebagian dosa-dosanya. Dengan begitu, hadist ini berarti tidak menunjukan bahwa kesedihan, kegundahan dan kerisauan merupakan sebuah keadaan yang harus diminta dan dirasakan.
            Bahkan, seorang hamba justru tidak dibenarkan meminta atau mengharap kesedihan dan mengira bahwa ha itu merupakan sebuah ibadah yang diperintahkan, diridhai atau disyaratkan Allah swt untuk hambaNya. Sebab, jika memang semua itu dibenarkan dan diperintahkan Allah swt, pastilah Rasulallah saw, akan menjadi orang pertama yang akan mengisi seluruh waktu hidupnya dengan kesedihan-kesedihan dan akan menghabiskannya dengan kegundahan-kegundahan . hal seperti itu jelas sangat tidak mungkin. Karena, sebagaimana kita ketahui, hati beliau selalu lapang dan wajahnya selalu dihiasi senyuman, hatinya selalu diliputi keridhaan, dan perjalanan hidupnya selalu dihiasi dengan kegembiraan.
            Memang dalam hadist Hindu Ibnu Halah tentang sifat Nabi saw, disebutkan bahwa :”Sesungguhnya dia selalu bersedih”. Namun, hadist ini ternyata kurang dapat dipercaya, sebab dalam silsilah perawinya terdapat seorang perawi yang tidak dikenal. Selain itu, muatan hadist ini pun jelas sangat bertentangan dengan realitas kehidupan Nabi saw.
            Bagaimana mungkin Rasulallah saw dikatakan Selalu dirundung kesedihan?. Bukankah Allah swt telah melindungi beliau dari kesedihan yang berkaitan dengan urusan keduniaan dan unsur-unsurnya, melarangnya agar tidak bersedih atas perilaku orang-orang kafir, dan mengamouni semua dosa-dosanya yang telah berlalu maupun yang belum terjadi?. Nah, dari manakah kesedihan itu dapat menyusup ke dalam lubuk hatinya?. Bukankah beliau saw, hatinya senantiasa tenteram dengan janji Allah swt serta rela dengan semua ketentuan dan perbuatan-Nya?. Bahkan, Rasulallah saw adalah orang yang terkenal ramah dan murah senyum sebagaimana dilukiskan oleh salah satu gelarnya sebagai “seseorang yang murah senyum”.
            Siapa saja membaca, menghayati, dan mendalami sejarah pejalanan hidup beliau dengan seksama dan menyeluruh, maka ia akan mengetahui bahwa Rasulallah saw, diturunkan ke dunia ini untuk menghancurkan kebatilan, mengusir kesuntukan, kegelisahan, kesedihan dan kecemasan, serta membebaskan jiwa dari tekanan keragu-raguan, kebingungan, kegudahan dan keguncangan. Bersamaan dengan itu, beliau juga diutus untuk menyelaatkan jiwa manusia dari segala bentuk hawa nafsu yang membinasakan. Begitulah, betapa banyaknya karunia Allah swt yang telah dianugerahkan kepada manusia.
            Ada sebuah hadist menyebutkan bahwa :”Sesunggunhnya Allah swt sangat mencintai hati yang senantiasa bersedih”. Namun, hadist ini ternyata tidak memiliki sanad (jalur periwayatan) dan perawi yang jelas, alias kurang dapat dipercaya. Simgkatnya, hadist ini jelas kurang dapat dipertanggung jawabkan keshahihanya. Selain itu, hadist ini juga tidak dapat dikategorikan shahih karena sangat bertentangan dengan ajaran agama dan tuntunan syari’at. Dan kalau memang khabar(hadist) itu akan dianggap shahih, maka penjelasannya adalah demikian : kesedihan itu adalah salah satu musibah dari Allah swt yang ditimpakan kepada hambaNya untuk mengujinya. Artinya, jika hamba tersebut mampu menghadapinya dengan kesabaran, maka sesungguhnya Allah swt mencintai kesabaran orang tersebut dalam menghadapi cobaan itu.
            Demikianlah, maka merupakan kesalahan besar bagi orang-orang yang memuji kesedihan, senantiasa berusaha menciptakan kesedihan, dan mencoba membenar-benarkan kesedihan mereka dengan dalil bahwa syari’at telah mengajurkan dan memandangnya sebagai sesuatu yang baik. Sebab, pada kenyataanya dalil-dalil syari’at melarang ha itu. Bahkan, syariat justru memerintahkan setiap manusia agar tidak bersedih dan selalu ceria.
            Dalam FirmanNya, Allah swt menceritakan keadaan seorang Nabi dari Bani Israel demikian :”Dan, kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (kepada anak-anak nya)” (QS.Yusuf:84).
            Ayat ini mengabarkan tentang kesedihan Nabi Ya’qub saat harus kehilangan anak yang menjadi kekasihnya. Ini merupakan kabar bahwa cobaan tersebut sama beratnya dengan musibah atau ujian yang dirasakan oleh seseorang saat dipisahkan dengan buah hatinya. Betapapun, ayat diatas hanya sekadar memberi kabar dan lukisan tentang beratnya cobaan seorang Nabi. Dan itu bukan berarti bahwa kesedihan seperti itu diperintahkan atau dianjurkan. Bahkan justru sebaliknya, kita diperintahkan untuk ber isti’adzah (memohon perlindungan) kepada Allah swt dari segala kesedihan. Sebab, bagaimanapun kesedihan adalah laksana awan tebal, malam pekat yang panjang, dan arah panjang yang melintang ditengah jalan ke arah kemuliaan.
            Selain Abu Utsman Al-Jabari, semua ahli sufi sepakat bahwa bersedih karena perkara duniawi itu tidak terpuji. Menurut Abu Utsman,kesedihan itu apapun bentuknya adalah sebuah keutamaan dan tambahan kebajikan bagi seorang mukmin, yakni dengan syarat bila kesedihan itu bukan dikarenakan suatu kemaksiatan. Ia juga mengatakan :”Bahwa kalu kesedihan itu tidak diwajibkan secara khusus, maka ia diwajibkan sebagai sarana mensucikan diri”.
            Syahdan, adapula yang berkata :”Tidak diragukan lagi bahwa kesedihan merupakan ujian dan cobaan dari Allah swt sebagaimana halnya penyakit, kegundahan, dan kegalauan. Namun jika dikatakan bahwa kesedihan adalah tingkatan yang harus dilalui seorang sufi adalah tidak benar”.
            Atas dasar itu, sebaiknya Anda berusahauntuk senantiasa gembira dan berlapang dada. Jangan lupa memohon kepada Allah swt agar selalu diberi kehidupan yang baik dan diridhai, kejernihan hati, dan kelapangan pikiran. Itulah kenikmatan-kenikmatan didunia. Betapapun, sebagian ulama mengatakan bahwa dunia ini terdapat surga, dan barang siapa tidak pernah memasuki surga dunia itu, maka ia tidak akan masuk surga akhirat.
            Allah swt adalah satu-satunya Dzat yang pantas kita mohon agar melapangkan hati kita dengan cahaya iman, menunjukan hati kepada jalanNya yang lurus, dan menyelamatkan kita kehidupan yan susah dan menyesakkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar