Kamis, 15 Agustus 2013

Nikmatnya Rasa Sakit


            Rasa sakit tidak selamnya tak berharga, sehingga harus selalu dibenci. Sebab, mungkin saja rasa sakit itu justru akan mendatangkan kebaikan bagi seseorang.
            Biasanya, ketulusan sebuah doa muncul tatkala rasa sakit mendera. Demikian pula dengan ktulusan tasbih yang senantiasa terucap saat rasa terasa.
            Contoh pola kehidupan yang paling baik adalah kehidupan kaum mukminin generasi awal. Yaitu, mereka yang hidup pada masa-masa awal kerasulan, lahirnya agama, dan diawal masa perutusan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan yang kokoh, hati yang baik, bahasa yang bersahaja, dan ilmu yang luas. Mereka pernah merasa kelaparan, miskin, diusir, disakiti, dan harus rela meninggalkan semua yang dicintai, disiksa, bahkan dibunuh. Dan karena semua itu pula mereka menjadi orang-orang pilihan. Merekan menjadi tanda kesucian, panji kebaikan, dan simbol pengorbanan.
            “yang demikian itu ialah karena mereka ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah swt, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan demikian itu suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah swt tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”. (QS.At-Taubah:120).
            Saya teringat seorang penyair yang senantiasa menjalani kesensaraan hidup, menanggung cobaan yang tidak ringan, dan mengenyam pahitnya perpisahan. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia sempat melantunkan qasidah yang indah, segar, dan jujur. Dialah Malik Ibnu Ar-Rayyib. Ia meratapi dirinya : Tidakkah kau lihat aku menjual kesesatan dengan hidayah dan aku menjadi seorang pasukan Ibnu Affan yang berperang.
            Alangkah indahnya aku, tatkala aku biarkan anak-anak ku taat dengan mengorbankan kebun dan semua harta hartaku
            Wahai kedua sahabat perjalananku, kematian semakin dekat berhentilah ditempat tinggi sebab aku akan tinggal malam ini
            Tinggalah bersamaku malam ini atau setidaknya malam ini jangan kau buat lari ia, telah jelas yang akan menimpa
            Goreslah tempat tidurku dengan ujung gerigi dan kembalikan ke depan mataku kelebihan selendangku
            Jangan kau iri, semoga Allah swt memberkahi kau berdua dari tanah yang demikian lebar, semoga semakin luas untukku.
            Demikianlah, ungkapan-ungkapannya demikian syahdu, penyelesaian yang sangat berat diungkapkan, dan teriakan yang memilukan. Itu semua menggambarkan betapa kepedihan itu meluap dari hati sang penyair yang mengalami sendiri kepedihan dan kesengsaraan hidup.
            Jangan cela orang yang sedang kasmaran hingga beliton keras deritamu berada dalam derita dirinya.
            Saya banyak menjumpai syair-syair terasa sangat dingin, tidak hidup, dan tidak ada ruhnya. Itu bisa jadi karena kata-kata yang diruntai dalam bait-bait tersebut bukan terbit dari sebuah pengalaman pribadi sang penyair, tetapi suatu dikarang dan direka-reka dalam aurat kesenangan.
            “Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya”. (QS.Ali-Imran:167).
            Agar ucapan dan syair Anda dapat menyentuh hati pembacanya, masuklah terlebih dahulu ke dalamnya. Sentuhlah, rasakanlah, dan resapilah niscaya Anda akan mampu memberikan sentuhan ke tengah masyarakat.
            “kemudian, apabila telah kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah”. (QS.Al-Hajj:5).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar