Rasa
sakit tidak selamnya tak berharga, sehingga harus selalu dibenci. Sebab,
mungkin saja rasa sakit itu justru akan mendatangkan kebaikan bagi seseorang.
Biasanya, ketulusan
sebuah doa muncul tatkala rasa sakit mendera. Demikian pula dengan ktulusan
tasbih yang senantiasa terucap saat rasa terasa.
Contoh pola
kehidupan yang paling baik adalah kehidupan kaum mukminin generasi awal. Yaitu,
mereka yang hidup pada masa-masa awal kerasulan, lahirnya agama, dan diawal
masa perutusan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan yang kokoh,
hati yang baik, bahasa yang bersahaja, dan ilmu yang luas. Mereka pernah merasa
kelaparan, miskin, diusir, disakiti, dan harus rela meninggalkan semua yang
dicintai, disiksa, bahkan dibunuh. Dan karena semua itu pula mereka menjadi
orang-orang pilihan. Merekan menjadi tanda kesucian, panji kebaikan, dan simbol
pengorbanan.
“yang demikian itu
ialah karena mereka ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah
swt, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah
orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan
dituliskanlah bagi mereka dengan demikian itu suatu amal shalih. Sesungguhnya
Allah swt tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”.
(QS.At-Taubah:120).
Saya teringat
seorang penyair yang senantiasa menjalani kesensaraan hidup, menanggung cobaan
yang tidak ringan, dan mengenyam pahitnya perpisahan. Sebelum menghembuskan
nafasnya yang terakhir, ia sempat melantunkan qasidah yang indah, segar, dan
jujur. Dialah Malik Ibnu Ar-Rayyib. Ia meratapi dirinya : Tidakkah kau lihat
aku menjual kesesatan dengan hidayah dan aku menjadi seorang pasukan Ibnu Affan
yang berperang.
Alangkah indahnya
aku, tatkala aku biarkan anak-anak ku taat dengan mengorbankan kebun dan semua
harta hartaku
Wahai kedua sahabat
perjalananku, kematian semakin dekat berhentilah ditempat tinggi sebab aku akan
tinggal malam ini
Tinggalah bersamaku
malam ini atau setidaknya malam ini jangan kau buat lari ia, telah jelas yang
akan menimpa
Goreslah tempat
tidurku dengan ujung gerigi dan kembalikan ke depan mataku kelebihan
selendangku
Jangan kau iri,
semoga Allah swt memberkahi kau berdua dari tanah yang demikian lebar, semoga
semakin luas untukku.
Demikianlah,
ungkapan-ungkapannya demikian syahdu, penyelesaian yang sangat berat
diungkapkan, dan teriakan yang memilukan. Itu semua menggambarkan betapa
kepedihan itu meluap dari hati sang penyair yang mengalami sendiri kepedihan
dan kesengsaraan hidup.
Jangan cela
orang yang sedang kasmaran hingga beliton keras deritamu berada dalam derita
dirinya.
Saya banyak menjumpai syair-syair terasa sangat
dingin, tidak hidup, dan tidak ada ruhnya. Itu bisa jadi karena kata-kata yang
diruntai dalam bait-bait tersebut bukan terbit dari sebuah pengalaman pribadi
sang penyair, tetapi suatu dikarang dan direka-reka dalam aurat kesenangan.
“Mereka mengatakan
dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya”. (QS.Ali-Imran:167).
Agar ucapan dan
syair Anda dapat menyentuh hati pembacanya, masuklah terlebih dahulu ke
dalamnya. Sentuhlah, rasakanlah, dan resapilah niscaya Anda akan mampu
memberikan sentuhan ke tengah masyarakat.
“kemudian, apabila
telah kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan
berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah”. (QS.Al-Hajj:5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar