Tertawa
yang wajar itu laksana “balsem” bagi kegalauan dan "salep” bagi kesedihan. Pengaruhnya
sangat kuat sekali untuk membuat jiwa gembira dan hati berbahagia. Bahkan,
karena itu Abu Darda’ sempat berkata :”Sesungguhnya aku akan tertawa untuk
membahagiakan hatiku. Dan Rasulallah saw, sendiri sesekali tertawa hingga
tampak gerahamnya. Begitulah tertawanya orang-orang yang berakal dan mengerti
tentang penyakit jiwa serta pengobatannya.”
Tertawa merupakan
puncak kegembiraan, titik tertinggi keceriaan dan ujung rasa suka cita. Namun,
yang demikian itu adalah tertawa yang tidak berlebihan sebagaimana dikatakan
dalam pepatah :”Janganlah engkau banyak tertawa, sebab banyak tertawa itu
mematikan hati”. Yakni, tertawalah sewajar-wajarnya saja sebagaimana dikatakan
juga dalam pepatah yang berbunyi :”Senyummu didepan saudaramu adalah sedekah”.
Bahkan, tertawalah sebagaimana Nabi Sulaiman ketika, “...ia tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu”.(QS.An-Naml:19).
Janganlah tertawa
sinis dan sombong sebagaimana dilakukan orang-orang kafir, “...tatkala dia datang kepada mereka dengan
membawa mukjizat-mukjizat Kami dengan serta merta mereka menertawakannya”.
(QS.Az-Zukhuf:47).
Dan salah satu
nikmat Allah swt yang diberikan kepada penghuni surga adalah tertawa.
Sebagaimana yang dikatakan Allah swt “Maka
pada hari ini orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir”.(QS.Al-Muthaffifin:34).
Orang Arab senang
memuji orang yang murah senyum dan selalu tampak ceria. Menurut mereka, perangai
yang demikian itu merupakan pertanda kelapangan dada, kedermawanan sifat,
kemurahan hati, kewibawaan perangai, dan ketanggapan pikiran.
Pada dasarnya,
Islam sendiri dibangun atas dasar prinsip-prinsip keseimbangan dan kemoderatan,
baik dalam hal akidah, ibadah, akhlak maupun tingkah laku. Maka dari itu, Islam
tak mengenal kemuraman yang menakutkan, dan tertawa lepas yang tak beraturan.
Akan tetapi sebaliknya, Islam senantiasa mengajarkan kesungguhan yang penuh
wibawa dan ringan langkah yang terarah.
Abu Tamam
mengatakan :”Demi jiwaku yang bapakku menebusnya untukku, ia laksana pagi yang
diharapkan dan bintang yang dinantikan.
Canda kadang
menjadi serius, namun hidup tanpa canda jadi kering kerontang”.
Muram durja dan
muka masam adalah cermin dari jiwa yang galau, pikiran yang kacau, dan kepala
yang kacau balau mereka cemberut karena sombong, seolah-olah mereka dilempar
dengan paksa ke neraka.
Tidak seperti kaum,
yang bila kau dijumpai baik bintang gemintang yang jadi petunjuk bagi pejalan
malam.
Sabda Rasulallah
saw :”Meski engkau hanya menjumpai saudaramu dengan wajah berseri”.
Dalam Faidhul
Khathir, Ahmad Amin menjelaskan demikian :”Orang yang murah tersenyum dalam
menjalani hidup ini bukan saja orang yang paling mampu membahagiakan diri
sendiri, tetapi juga orang yang palimg mampu berbuat, orang yang paling sanggup
memikul tanggung jawab, orang yang paling tangguh menghadapi kesulitan dan
memecahkan persoalan, serta orang yang paling dapat menciptakan hal-hal yang
bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain”.
Andai saja Saya
disuruh memilih antara harta yang banyak atau kedudukan yang tinggi dengan jiwa
yang tenteram damai dan selalu tersenyum, pastilah Saya memilih yang kedua.
Sebab, apa artinya harta yang banyak bila wajah selalu cemberut?. Apa artinya
kedudukan bila jiwa selalu cemas?. Apa artinya semua yang ada didunia ini, bila
perasaan selalu sedih seperti orang yang usai mengantar jenazah kekasihnya?.
Apa arti kecantikan seorang isteri jika selalu cemberut dan hanya membuat rumah
tangga menjadi neraka saja? Tentu saja, seorang isteri yang tidak terlalu
cantik akan seribu kali lebih baik jika dapat menjadikan rumah tangga
senantiasa laksana surga yang menyejukkan setiap saat.
Senyuman tak akan
ada harganya bila tidak terbit dari hati yang tulus dan tabi’at dasar seorang
manusia. Setiap bunga tersenyum, hutan tersenyum, sungai dan laut juga
tersenyum. Langit, bintang-gemintang dan burung-burung, semuanya tersenyum. Dan
manusia, sesuai watak dan dasarnya adalah mahluk yang suka tersenyum itu bila
dalam dirinya tidak bercokol penyakit tamak, jahat, dan egoisme yang selalu
membuat rona wajah selalu kusut dan cemberut. Adapun bila ketiga hal itu
meliputi seseorang yang selalu bermuram durja dan pekat jiwanya tak akan pernah
melihat keindahan dunia dan pekat jiwanya tak akan pernah melihat keindahan
dunia ini sedikitpun. Ia juga tak akan mampu melihat hakekat atau kebenaran
dikarenakan kekotoran hatinya. Betapapun, setiao manusia akan melihat dunia ini
perbuatan, pikiran dan dorongan hidupnya. Yakni, bila amal perbuatannya baik,
pikirannya bersih dan motivasi hidupnya suci, maka kacamata yang akan ia
gunakan untuk melihat dunia ini pun akan bersih. Dan karena itu, ia akan
melihat dunia ini tampak sangat indah mempesina. Namun, bila tidak demikian,
maka kacamata yang akan ia gunakan untuk melihat dunia ini adalah kacamata
gelap yang membuat segala sesuatu didunia ini tampak serba hitam dan pekat.
Ada jiwa-jiwa yang
dapat membuat setyiap hal terasa berat da sengsara. Tapi, ada pula jiwa-jiwa
yang mampu membuat setiap hal menjadi sumber kebahagiaan. Konon, ada seorang
wanita yang dirumahnya selalu melihat segala sesuatu salah dimatanya.
Akibatnya, sepanjang hari ia merasa dalam gelap gulita, hanya karena sebuah
piring pecah, makanan keasinan karena terlalu banyak garam, atau kakinya
menginjak sobekan kertas didalam kamar, ia sontak berteriak dan memaki siapa
dan apa saja yang ada dirumahnya. Hal seperti ini sangat berbahaya sebagaimana
percikan api yang setiap saat siap melahap apa saja yang ada didepannya.
Ada pula seorang
laki-laki yang acapkali membuat hidupnya dan orang-orang disekelilingnya terasa
berat dan sengsara hanya dikarenakan dirinya salah dalam memahami atau
mengartikan maksud perkataan orang lain, perkara atau kesalahan sepele yang
terjadi pada dirinya, keuntungan yang tidak sesuai dengan harapannya. Begitulah
ia memandang dunia ini, semua terasa gelap. Ironisnya ia pun akan membuat semua
itu terasa gelap pula oleh orang lain disekitarnya. Dan orang-orang seperti ini
sangat mudah mendramatisir suatu keburukan, sebuah biji kesalahan ia
besar-besarkan hingga tampak sebesar kubah, dan setangkai benih kesuitan dapat
terasa seperti batang pohon kesengsaraan. Maka dari itu, mereka pun tidak
memiliki kemampuan untuk melakukan kebaikan. Mereka tidak pernah puas dan
senang dengan sebanyak apapun pemberian yang pernah ia terima.
Hidup ini adalah
seni bagaimana membuat sesuatu. Dan seni harus dipelajari dan ditekuni. Maka
sangatlah baik bila manusia berusaha keras dan penuh kesungguhan mau belajar tentang
bagaimana menghasilkan bunga-bunga,
semerbak harum wewangian, dan kecintaan didalam hidupnya. Itu lebih baik
daripada ia terus menguras tenaga dan waktunya hanya untuk menimbun harta
disaku gudangnya. Apalah arti hidup ini, bila hanya habis untuk mengumpulkan
harta benda dan tak dimanfaatkan sedikitpun untuk meningkatkan kualitas kasih
sayang, cinta, keindahan dalam hidup ini?.
Banyak orang yang
tidak mampu melihat indahnya kehidupan ini. Mereka hanya membuka matanya untuk
dirham dan dinar semata. Maka meskipun berjalan melewati sebuah taman rindang,
bunga-bunga cantik mempesona, air jernih yang memancar deras, burung-burung
yang berkicau riang, mereka sama sekali tidak tertarik dengan semua itu. Dimata
dan pikiranya hanya ada uang berapa yang masuk dan yang keluar pada hari itu
saja. Padahal, kalau dipikir lebih dalam, sebenarnya ia harus membuat uang itu
menjadi sarana yang baik untuk membangun sebuah kehidupan yang berbahagia. Tapi sayang, mereka justru membalikan
semuanya, mereka menjual kebahagiaan hidup hanya demi mendapatkan uang, dan
bukan membeli kebahagiaan hidup dengan uang. Struktur mata kita telah
diciptakan sedemikian rupa dan unik agar kita dapat melihat keindahan. Namun,
ternyata kita acapkali membiasakannya hanya untuk melihat uang dan uang.
Tidak ada yang
membuat jiwa dan wajah menjadi demikian muram selain keputusannya. Maka, jika
Anda menginginkan senyuman, tersenyumlah terlebih dahulu dan perangilah
keputusasaan. Percayalah, kesempatan itu selalu terbuka, kesuksesan selalu
membuka pintunya untuk Anda dan untuk siapa saja. Karena itu, biasakan pikran
Anda agar selalu menatap harapan dan kebaikan dimasa yang akan datang.
Jika Anda meyakini
diri Anda diciptakan hanya untuk meraih hal-hal yang kecil, maka Anda pun hanya
akan mendapatkan yang kecil-kecil saja dalam hidup ini. Tapi sebaliknya, bila
Anda yakin bahwa diri Anda diciptakan untuk menggapai hal-hal yang besar, niscaya Anda akan mampu menghancurkan semua
aral dan hambatan. Dengan semangat luas untuk suatu tujuan yang mulia. Ini
dapat kita saksikan dalam banyak kenyataan hidup. Barang siapa ikut lomba lari
seratus meter misalnya, ia akan merasa capek tatkala telah menyelesaikannya.
Lain halnya dengan seorang peserta lomba lari empat ratus meter, ia belum
merasa capek tatkala sudah menempuh jarak seratus atau dua ratus meter.
Begitulah adanya, jiwa hanya akan memberikan kadar semangat sesuai dengan kadar
atau tingkatan sesuatu yang akan dicapai seseorang. Maka, pikirkan setiap
tujuan Anda. Dan jangan lupa, hendaklah tujuan Anda itu selalu yang tinggi dan
sulit dicapai. Jangan pernah putus asa selama masih dapat mengayunkan kaki
untuk menempuh langkah baru setiap harinya. Sebab, rasa putus asa, patah
semangat, selalu berpandangan negatif terhadap segala sesuatu, suka mencari-cari
aib dan kesalahan orang lain, dan besar mulut hanya akan menghambat langkah,
menciptakan kemuraman, dan menempatkan jiwa didalam sebuah penjara yang pengap.
Penerimaan
seseorang terhadap suatu hal tidaklah sama dengan penerimaannya terhadap
seorang pendidik yang telah berjasa mengembangkan dan mengarahkan bakat
alamiyahnya, meluaskan cakrawala pemikirannya, menanam kebiasaan ramah dan
murah hati dalam dirinya, mengajarkan kepadanya bahwa sebaik-baik tujuan hidup
adalah berusaha menjadi sumber kebaikan bagi masyarakatnya sesuai dengan
kemampuannya, mengarahkanya agar senantiasa menjadi matahari yang memancarkan
cahaya, kasih sayang dan kebaikan, dan yang telah menuntunya agar memiliki hati
yang penuh dengan empati, kasih sayang, rasa perikemanusiaan, serta merasa
senang berbuat baik kepada siapa saja yang berhubungan dengannya.
Setiap kali melihat
kesulitan, jiwa seseorang yang murah senyum justru akan menikmati kesulitan itu
dengan memacu diri untuk mengalahkannya. Begitu ia memperlakukan suatu kesulitan,
melihatnya lalu tersenyum, menyesiasatinya lalu tersenyum, dan berusaha
mengalahkannya lalu tersenyum. Berbeda dengan jiwa manusia yang selalu risau.
Setiap kali menjumpai kesulitan, ia ingin segera meninggalkannya dan melihatnya
sebagai sesuatu yang amat sangat besar dan memberatkan dirinya. Dan itulah yang
acapkali menyebabkan semangat seseorang menurun dan rasanya berkurang. Bahkan,
tak jarang orang seperti ini berdalih dengan kata-kata “Seandainya...”, “Kalau
saja...”, dan “Seharusnya...”. orang seperti ini sangatlah nista. Bukan zaman
yang mengutuknya, tapi dirinya dan pendidikan yang telah membesarkannya.
Bagaimana tidak, ia menginginkan keberhasilan dalam menjalani kehidupan ini,
tapi tanpa mau membayar ongkosnya. Orang seperti ini ibarat seseorang yang
hendak berjalan tetapi selalu dibayangi oleh seekor singa yang siap menerkam
dirinya dari belakang. Akibatnya, ia hanya menunggu langit menurunkan emasnya
atau kami mengeluarkan kandungan harta karunnya.
Kesulitan-kesulitan
dalam kehidupan ini merupakan perkara yang nisbi. Yakni, segala sesuatu akan
terasa sulit bagi jiwa yang kerdil, tapi bagi jiwa yang besar tidak ada istilah
kesulitan besar. Jiwa yang besar akan semakin besa karena mampu mengatasi
kesulitan-kesulitan itu. Sementara jiwa yang kecil akan semakin sakit, karena
selalu menghindar dari kesulitan itu. Kesulitan itu ibarat anjing yang siap
menggigit, ia akan menggonggong dan mengejar Anda bila Anda tampak ketakutan
saat melihatnya. Sebaliknya, ia akan membiarkan Anda berlalu dihadapan nya
dengan tenang bila Anda tak menghiraukannya, atau Anda berani memelototinya.
Penyakit yang
paling mematikan jiwa adalah rasa rendah diri. Penyakit ini dapat menghilangkan
rasa percaya diri dan keyakinan seseorang terhadap kemampuannya sendiri. Maka
dari itu, meski berani melakukan suatu pekerjaan, ia tak akan pernah yakin
dengan kemampuan dan keberhasilan dirinya. Ia juga melakukannya dengan tanpa
perhitungan yang matang, dan akhirnya gagal. Percaya diri adalah sebuah karunia
yang sangat besar. Ia merupakan tiang penyangga keberhasilan dalam kehidupan
ini. Adalah sangat berbeda antara “percaya diri “dengan” terlalu ini. Terlalu
percaya diri merupakan perilaku negatif yang senantiasa membuat jiwa bergantung
pada khayalan dan kesombongan semu. Sedangkan percaya diri merupakan hal
positif yang akan mendorong setiap jiwa untuk bergantung pada kemampuannya
sendiri dalam memikul suatu tanggung jawab. Dan karena itu, ia akan terdorong
untuk senantiasai mengembangkan kemampuannya dan mempersiapkan diri dengan matang
dalam menghadapi segala sesuatu.
Maka mengapa kau
harus bersedih dengan dosa dan kesusahan orang lain, apalagi sampai engkau
seolah-olah yang melakukan dosa dan kesalahan itu ?
Orang berkata:
“sekian hari Saya telah tampak tanda-tandanya seakan memerintahkanku membeli
pakaian dan boneka-boneka.
Sedangkan aku punya
kewajiban bagi teman-teman dan saudara, namun telapak tanganku tak memegang
walau hanya satu dirham adanya.
Ku katakan:
Tersenyumlah,cukuplah bagi dirimu karena Anda masih hidup, dan engkau tidak
kehilangan saudara-saudara dan kerabat yang kau cintai.
Orang berkata:
“malam memberiku minuman’alqamah tersenyumlah, walaupun kau makan buah’alqamah.
Mungkin saja orang
lain yang melihatmu berdendang akan membuang semua kesedihan. Berdengdanglah
Apa kau kira dengan
cemberut akan memperoleh dirham atau merugi karena menampakan wajah berseri?
Saudaraku, tak
membahayakan bibirmu jika engkau mencium juga tak membahayakan jika wajahmu
tampak indah berseri.
Senyumlah, sebab
meteor langit juga tersenyum, mendung tersenyum, karenanya kami mencintai
bintang-bintang.
Orang berkata:
“wajah berseri tidak membuat dunia bahagia yang datang ke dunia dan pergi
dengan gumpalan amarah.
Ku katakan:
“Tersenyumlah, selama antara kau dan kematian ada jarak sejengkal, setelah itu
engkau tidak akan pernah tersenyum”.
Sungguh, kita
sangat butuh pada senyuman, wajah yang selalu berseri, hati yang lapang, akhlak
yang menawan, jiwa yang lembut, dan pembawaan yang tidak kasar: “sesungguhnya
Allah swt mewahyukan kepadaku agar kalian berendah hati, hingga tidak ada salah
seorang diantaramu yang berlaku jahat pada yang lain dan tidak ada salah
seorang diantaramu yang membanggakan diri atas yang lain”. (Al-Hadist).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar